Agama Hindu juga dicirikan dengan adanya kepercayaan akan makhluk ilahi/makhluk surgawi, yang dipandang tidak setara dengan Yang Mahakuasa, sedangkan beberapa aliran juga memandangnya sebagai manifestasi dari Yang Mahakuasa. Karakteristik lainnya yang kerap dijumpai dalam tubuh Hinduisme adalah iman tentang reinkarnasi dan karma, serta keyakinan akan kewajiban yang harus dipenuhi secara mutlak (darma).
Selain itu, banyak aliran Hinduisme mentakzimkan suatu kumpulan kitab suci yang disebut Weda, meskipun ada beberapa aliran yang mengabaikannya. Sekte Hindu seperti Linggayata bahkan tidak mengikuti Weda, namun masih memiliki kepercayaan akan Siwa. Sebaliknya, sekte Ayyavazhi memiliki kitab suci tersendiri yang disebut Akilattirattu Ammanai, namun masih mengimani Tuhan yang sama dengan Hinduisme contohnya Narayana dan Laksmi serta memiliki sejumlah mitos yang mirip dengan mitologi Hindu pada umumnya.
Dalam perkembangannya, tradisi Hindu yang cenderung mengagungkan Wisnu atau Narayana dan Kresna disebut Waisnawa, sementara yang memuja Siwa disebut Saiwa (Saiwisme). Dilihat dari luar, aliran Saiwa dan Waisnawa memiliki konsep tersendiri tentang Tuhan yang diagungkan. Menurut Halbfass, meskipun aliran Saiwa dan Waisnawa dapat dipandang sebagai aliran keagamaan yang mandiri, ada kadar interaksi dan saling acu antara para teoretikus dan pujangga dari masing-masing tradisi yang mengindikasikan adanya rasa jati diri yang lebih luas, rasa koherensi dalam konteks yang sama, serta inklusi dalam kerangka dan garis besar [kepercayaan] secara umum.
Menurut Nicholson, pada masa antara abad ke-12 dan ke-16, para cendekiawan tertentu mulai memandang "benang merah" terhadap kekayaan ajaran filsafat yang berasal dari Upanishad, wiracarita, Purana, dan beberapa mazhab yang dikenal sebagai "enam sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum." Tendensi dari kekaburan distingsi filosofis juga digarisbawahi oleh Burley. Hacker menyebut perihal tersebut sebagai "inklusivisme", dan Michaels berpendapat tentang "sifat identifikasi diri". Menurut Lorenzen, rasa identitas ke-Hindu-an bermula dari masa interaksi antara kaum Muslim dan Hindu, dan dari sebuah proses penentuan jati diri untuk membedakan kaum Hindu dengan kaum Muslim, yang sudah dimulai sebelum 1800-an.
Sebagai pencegahan terhadap supremasi Islam, dan sebagai bagian dari proses regionalisasi yang berkelanjutan, dua inovasi keagamaan berkembang dalam tubuh agama Hindu: pembentukan sekte-sekte serta historisasi yang mendahului nasionalisme pada masa berikutnya. Para orang suci, dan kadangkala pemuka sekte yang militan, seperti pujangga Maratha [bernama] Tukaram (1609-1649) dan Ramdas (1608–1681), menyuarakan gagasan-gagasan yang mengagungkan kejayaan agama Hindu pada masa lampau. Para brahmana juga menyusun tulisan-tulisan bersejarah yang kian bertambah, terutama eulogi dan riwayat tempat-tempat suci (mahatmya), atau mengobarkan semangat reflektif untuk menghimpun dan menggubah suatu koleksi kutipan yang ekstensif tentang berbagai subjek.
Inklusivisme ini dikembangkan lebih jauh lagi pada abad ke-19 dan ke-20 oleh gerakan reformasi Hindu dan Neo-Vedanta, serta telah menjadi karakteristik agama Hindu modern.
Admin : Andi Akbar Muzfa, SH
Blog Tenaga Sosial Sidenreng Rappang
BAGIKAN KE TEMAN ANDA