Asas legalitas (legality)
KUHAP sebagai Hukum Acara Pidana adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapannya harus bersumber pada titik tolak the rule of law yang berarti semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang serta menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya sehingga terwujud kehidupan masyarakat di bawah supremasi hukum (supremacy of law) yang harus selaras dengan ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, setiap tindakan penegakan hukum harus tunduk di bawah ketentuan konstitusi undang-undang yang hidup di tengah kesadaran hukum masyarakat. Sebagai konsekuensi dari asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi hukum (supremacy of law), maka aparat penegak hukum dilarang atau tidak dibenarkan:
Jika kita telusuri ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, ternyata asas “opportunitas” tidak lagi berlaku efektif karena sebagaimana yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf (a) dihubungkan dengan pasal 14 KUHAP, yang menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya di muka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. Sedangkan pasal 14 huruf (h) KUHAP hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Dengan demikian, jaksa penuntut umum tidak mendeponir suatu perkara demi kepentingan umum.
Namun demikian, pasal 32 huruf (c) Undang-Undang Kejaksaan RI Nomor 5 Tahun 1991 menentukan bahwa kejaksaan masih berwenang melakukan deponiringI dan hal sedemikian itu masih juga dipertegas oleh Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang menentukan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas “opportunitas”.
Berdasarkan kenyataan ini, ada dualistis mengenai pelaksanaan asas “opportunitas” dalam KUHAP yaitu suatu sisi mengakui asas legalitas dan di sisi lain asas legalitas telah dikebiri oleh kenyataan dengan adanya pengakuan KUHAP terhadap eksistensi asas “opportunitas”. Keadaan ini akan membawa kesesatan dalam pelaksanaan KUHAP itu sendiri dan ada kemungkinan dalam praktek dengan alasan mempergunakan kepentingan umum sebagai kedok untuk mengenyampingkan suatu perkara. Terlebih lagi kepentingan umum sangat abstrak, kabur dan mengambang karena baik KUHAP maupun Undang-Undang Kejaksaan tidak ada merumuskannya secara tegas dan jelas tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Akibatnya, dalam praktek penegakan hukum bisa terjadi nepotisme atau koncoisme dengan dalih demi kepentingan umum.
Catatan Kuliah : Andi AM
KUHAP sebagai Hukum Acara Pidana adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapannya harus bersumber pada titik tolak the rule of law yang berarti semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang serta menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas segala-galanya sehingga terwujud kehidupan masyarakat di bawah supremasi hukum (supremacy of law) yang harus selaras dengan ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, setiap tindakan penegakan hukum harus tunduk di bawah ketentuan konstitusi undang-undang yang hidup di tengah kesadaran hukum masyarakat. Sebagai konsekuensi dari asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi hukum (supremacy of law), maka aparat penegak hukum dilarang atau tidak dibenarkan:
- Bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law) maupun undue process.
- Bertindak sewenang-wenang (abuse of law).
- Sama sederajat di hadapan hukum atau equality before the law.
- Mempunyai kedudukan “perlindungan” yang sama oleh hukum atau equal protection the law.
- Mendapat “perlakuan keadilan” yang sama dibawah hukum, equal justice under the law.
Jika kita telusuri ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, ternyata asas “opportunitas” tidak lagi berlaku efektif karena sebagaimana yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf (a) dihubungkan dengan pasal 14 KUHAP, yang menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya di muka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau perkaranya ditutup demi hukum. Sedangkan pasal 14 huruf (h) KUHAP hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup perkara demi kepentingan hukum. Dengan demikian, jaksa penuntut umum tidak mendeponir suatu perkara demi kepentingan umum.
Namun demikian, pasal 32 huruf (c) Undang-Undang Kejaksaan RI Nomor 5 Tahun 1991 menentukan bahwa kejaksaan masih berwenang melakukan deponiringI dan hal sedemikian itu masih juga dipertegas oleh Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang menentukan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas “opportunitas”.
Berdasarkan kenyataan ini, ada dualistis mengenai pelaksanaan asas “opportunitas” dalam KUHAP yaitu suatu sisi mengakui asas legalitas dan di sisi lain asas legalitas telah dikebiri oleh kenyataan dengan adanya pengakuan KUHAP terhadap eksistensi asas “opportunitas”. Keadaan ini akan membawa kesesatan dalam pelaksanaan KUHAP itu sendiri dan ada kemungkinan dalam praktek dengan alasan mempergunakan kepentingan umum sebagai kedok untuk mengenyampingkan suatu perkara. Terlebih lagi kepentingan umum sangat abstrak, kabur dan mengambang karena baik KUHAP maupun Undang-Undang Kejaksaan tidak ada merumuskannya secara tegas dan jelas tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Akibatnya, dalam praktek penegakan hukum bisa terjadi nepotisme atau koncoisme dengan dalih demi kepentingan umum.
Catatan Kuliah : Andi AM
BAGIKAN KE TEMAN ANDA